Minggu, 22 Mei 2011

organisasi promotor harmonisasi standard akuntansi internasional

Sebagian orang mengklaim bahwa kunci untuk mendapatkan loyalitas adalah dengan membuat pelanggan mampu melontarkan kata WOW setelah membeli produk atau menggunakan jasa perusahaan. Saya tidak tahu dengan Anda, tapi buat saya ini terdengar seperti sebuah argumentasi dari dimensi pop-culture, bukan sebuah proposisi bisnis yang serius.

Loyalitas pelanggan bisa dibilang merupakan ultimate goal bagi perusahaan. Pelanggan yang loyal akan kembali dan membeli lebih banyak. Pelanggan yang loyal merupakan satu ciri perusahaan yang profitable dan kemapanan stakeholder. Singkatnya, faktor penting pertumbuhan perusahaan.

Fred Reichheld dalam The Ultimate Question menyebut pelanggan yang loyal adalah baru pertanda awal pertumbuhan perusahaan. Pelanggan yang mempromosikan produk atau layanan perusahaan lah yang sesungguhnya prediktor sejati pertumbuhan perusahaan. Ada satu pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa banyak promotor produk atau perusahaan Anda, Reichhel menyebutnya sebagai Net Promoter Score (NPS).

NPS merujuk pada perspektif sederhana bahwa pelanggan dapat dibagi atas tiga katagori. Promotor, merupakan pelanggan yang loyal dan antusias terhadap produk atau layanan perusahaan, selalu membeli, dan mendorong orang lain untuk turut membeli/menggunakan produk yang sama. Pasif, merupakan kumpulan pelanggan yang puas, tetapi tidak antusian merekomendasikan produk atau layanan kepada pihak lain. Pelanggan jenis ini mudah beralih ke produk kompetitor. Detraktor adalah pelanggan yang kecewa terhadap produk serta memberikan komentar buruk atas produk. NPS adalah hasil persentase promotor dikurangi detraktor.

Secara konsep mungkin terlihat sederhana. Namun, hanya sedikit perusahaan yang bisa memiliki NPS positif dan di atas 50 persen. Amazon.com, eBay, Costco, Vanguard, dan Dell adalah contoh perusahaan dalam kelompok ini. Namun, kebanyakan perusahaan tersebar di kisaran 5-10 persen. Dengan kata lain, jumlah detraktor hampir mendekati promotor. Tidak sedikit pula yang memiliki NPS negatif yang tentunya menjadi alasan banyak perusahaan tidak bisa memberikan keuntungan, pertumbuhan berkelanjutan, tak peduli betapa agresif mereka menghabiskan uang untuk mempromosikan produk atau jasa.

Dalam kerangka TRUST (kepercayaan) yang digagas oleh Stephen M. R. Covey, NPS menjadi acuan untuk mengukur Market Trust yang dimiliki perusahaan. Stephen, dalam bukunya Leading at The Speed of Trust menjelaskan bahwa terdapat 5 gelombang kepercayaan yang mampu membangun kredibilitas organisasi. Self Trust-Relationship Trust-Organizational Trust-Market Trust-Societal Trust. Market trust menekankan bahwa semakin banyak orang yang mempercayai produk Anda, semakin tangguh pula market trust Anda.

Kebanyakan orang berbisnis dengan pihak-pihak yang mereka percaya. Kebanyakan orang juga membeli produk atau layanan yang dipercaya akan memberikan apa yang sudah janjikan. Reputasi baik jadi salah satu pemicu banyak orang untuk mengikat kerjasama atau membeli produk-produk tertentu. Bagi organisasi bisnis maupun nirlaba, reputasi perusahaan tentunya menjadi modal untuk mempertahankan pertumbuhan organisasi.

Market Trust menunjukkan kepercayaan konsumen atas jasa atau produk yang mereka gunakan. Market Trust tidak serta merta dapat dibangun oleh ratusan juta rupiah iklan di layar kaca atau media cetak. Market Trust tidak pula datang hanya dengan daya persuasi sales force perusahaan yang andal. Market Trust terbangun hanya atas kualitas yang andal dari merek, dimana ujung-ujungnya menciptakan sejumlah promotor.

Apa jadinya jika perusahaan tidak memiliki promotor?

Untuk bisnis yang sifatnya monopoli, promotor tidak akan berpengaruh penting. Pasalnya, pelanggan tidak memiliki alternatif produsen lain yang menciptakan produk atau jasa lain. Bisnis terus berjalan meski begitu banyak komplain atau keluhan atas layanan.

Namun, tidak begitu mudah bagi mereka yang bergulat di pasar yang sudah penuh dengan pemain. Mau tidak mau, mereka harus menghindari detraktor dan menciptakan promotor. Brand harus memiliki hubungan yang kuat dan positif dengan pelanggan. Kepercayaan dan hubungan yang solid antara produk dengan konsumen sesungguhnya dapat dibangun dengan upaya serupa yang dilakukan individu ketika ingin membangun dirinya menjadi pribadi yang layak dipercaya. Market Trust dibangun dengan memperkuat "Karakter" dan "Kompetensi" dari produk atau layanan yang kita berikan. Apa maksudnya?

Seperti halnya individu, produk harus memiliki "karakter" yang tangguh ketika mulai diperkenalkan ke pasar. Karakter pertama, integritas. Apakah produk/layanan kita memiliki kualitas sesuai yang kita janjikan? Jika pelanggan bermasalah ketika menggunakan produk/layanan tersebut, apakah perusahaan sebagai produsen bertindak cepat untuk menyelesaikan masalah? Apakah produk/layanan yang dijual semata-mata untuk mencari untung, bukan untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan?

Dari sisi kompetensi, produk/layanan dapat dikatakan memiliki kompetensi jika mampu membuat konsumen mencapai maksudnya ketika menggunakan produk/layanan tersebut. Produk/layanan pun harus memiliki track record yang baik dan mendorong pelanggan merekomendasikannya kepada orang lain.

Kita semua yakin bahwa tanpa kepercayaan pelanggan, hal-hal lainnya tidak akan berarti. Mereka yang memiliki kepercayaan terhadap produk kitalah yang telah membantu memperluas jangkauan produk di pasar. Para promotor, agen marketing tanpa insentif, serta ajian Word of Mouth Marketing mereka adalah satu keajaiban di dunia bisnis yang sayang bila disia-siakan.


Satyo Fatwan
Managing Partner
Dunamis Organization Services


Dikutip dari Warta Ekonomi edisi 28 Juni 2010

dewi novi h
4eb04

rekonsiliasi dan pengakuan bersama (timbal balik)perbedaan standard akuntansi

Rekonsiliasi dan pengakuan bersama (timbal balik) perbedaan standar akuntansi
Rekonsiliasi dan Pengakuan Bersama

dua pendekatan lain yang diajukan sebagai solusi yang mungkin digunakan untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan isi laporan keuangan lintas batas : (1)rekonsiliasi dan (2) pengakuan bersama (yang juga disebut sebagai “imbal balik”/ resiprositas). Melalui rekonsiliasi, perusahaan asing dapat menyusun laporan keuangan dengan menggunakan standar akuntansi negara asal, tetapi harus menyediakan rekonsiliasi antara ukuran-ukuran akuntansi yang penting (seperti laba bersih dan ekuitas pemegang saham) di negara asal dan di negara dimana laporan keuangan dilaporkan. Sebagai contoh, Komisi Pasar Modal AS (SEC). Pengakuan bersama terjadi apabila pihak regulator di luar negara asal menerima laporan keuangan perusahaan asing yang didasarkan pada prinsip-prinsip negara asal. Sebagai contoh, Bursa Efek London menerima laporan keuangan berdasarkan GAAP AS untuk pelaporan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan asing.

sumber :http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:mXoZZHuFOygJ:pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/32026-9-474219208394.doc+rekonsilisasi+dan+pengakuan+bersama+perbedaan+akuntansi+internasional&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESiU_2lWXzKmFWYHpGE8O1jf1v37dd11gzH-0ENN47zrMd9Ejeyr4bw6VDOheHWH-bRc1W0yNAJ50IjwcwUSfcFDrmj5kncnax-2ALCiXbYS3iP_NPutBE2IROqF6iop3X62Ii56&sig=AHIEtbS-6Nnnh6y87YlO2RF0QksdSyaSSA&pli=1

Dewi Novi H
4eb04

pro dan kontra harmonisasi standard akuntansi internasional

PRO DAN KONTRA HARMONISASI STANDAR AKUNTANSI INTERNASIONAL
Sampai saat sekarang ini, negara barat masih gencar mempromosikan perlunya harmonisasi standar akuntansi internasional. Tujuan utama upaya tersebut adalah untuk meningkatkan daya banding (comparability) laporan keuangan terutama bagi perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai belahan dunia. Tidak mengherankan jika pihak barat membentuk suatu badan yang dinamakan International Accounting Standard Committee (IASC), yang sekarang berubah namanya menjadi International Accounting Standard Board (IASB). Badan ini bertugas menghasilkan standar akuntansi internasional (International Financial Reporting Standards-IFRS).
Alasan utama penyajian laporan keuangan yang memenuhi standar adalah untuk kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri di masa depan, baik ditinjau dari segi penguna internal maupun pengguna eksternal. Pengakuan publik akan kelengkapan dan ketransparanan laporan keuangan sebuah perseroan terbuka meningkatkan tekanan sektor bisnis untuk menyediakan laporan keuangan yang sesuai dengan standar.
alasan lainnya untuk memudahkan bagi para investor yang ingin melakukan kegiatan investasinya di negara lain, yang membutuhkan laporan keuangan berstandar internasional agar dapat mengetahui keadaan perusahaan tersebut.

Meskipun IASB tidak memiliki power untuk mewajibkan semua negara menyusun laporan keuangan berdasarkan International Financial Reporting Standards, sampai saat ini badan tersebut dapat dikatakan sangat berpengaruh dalam proses harmonisasi. Hal ini tidak mengherankan karena negara-negara kapitalis terutama Amerika memainkan peranan penting dalam menghasilkan standar tersebut. Dengan kata lain, harmonisasi standar akuntansi internasional merupakan harmonisasi yang didasarkan pada model akuntansi Anglo-Saxon, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan sistem akuntansi, lingkungan ekonomi, sosial dan budaya negara lain (Hoarau 1995). Lebih lanjut Hoarau mengatakan bahwa standar yang dihasilkan sangat didominasi oleh konsep akuntansi yang dipraktikkan di USA. Dengan kata lain yang sekarang adalah upaya hegemoni Amerika dalam penyusunan laporan keuangan melalui standar akuntansi internasional.
Meskipun standar akuntansi yang dihasilkan IASB membahas pedoman yang kurang mendetail dan ruang lingkupnya terbatas bila dibandingkan dengan standar akuntansi versi USA (Statement of Financial Accounting Standards), IFRS tetap didasarkan pada konsep dan pendekatan akuntansi yang sama. Sebagai akibatnya, IFRS kemungkinan banyak bertentangan dengan tujuan pelaporan keuangan dan lingkungan social, ekonomi, dan budaya negara lain, terutama yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara kapitalis. Lebih khusus lagi, standar yang dihasilkan banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini disebabkan konsep ekonomi kapitalis yang mendasari penyusunan standar akuntansi negara barat jauh berbeda dengan konsep ekonomi Islam.
Standar akuntansi yang dihasilkan model akuntansi Anglo-Saxon menganut paham yang mengakui adanya nilai waktu dari uang, yang menghasilkan konsep bunga. Sementara itu, Islam secara tegas menolak digunakannya nilai waktu dari uang dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Hal ini disebabkan konsep tersebut sama artinya dengan riba, dan riba jelas dilarang dalam Islam. Riba dilarang dalam ajaran Islam karena riba menunjukkan ketidakadilan. Capra (1994) menyebutkan bahwa ketidakadilan tersebut muncul karena distribusi keuntungan yang didasarkan pada jumlah yang tetap, dapat merusak mekanisme harga dan menyebabkan alokasi sumber ekonomi yang mengarah pada penumpukan modal yang terpusat pada sekelompok orang tertentu.
Larangan terhadap riba memiliki implikasi tersendiri bagi harmonisasi standar akuntansi internasional. Sejauh ini standar akuntansi yang diterima secara internasional selalu mempertimbangkan faktor bunga, yang jelas dilarang dalam Islam (Hamid et al. 1993). Contoh standar akuntansi yang dihasilkan IASB (IASC) adalah akuntansi untuk sewa guna usaha/lease (IAS 17), Akuntansi Dana Pensiun (IAS 19 dan IAS 26), dan Akuntansi Kapitalisasi Cost Pinjaman (IAS 23). Standar tersebut pada dasarnya sama dengan standar akuntansi yang dikeluarkan Amerika melalui Financial Accounting Standar Board (FASB), seperti standar akuntansi Dana Pensiun (SFAS 87 dan 88), Amortisasi Hutang Jangka Panjang (Accounting Principles Board-APB 12), Bunga atas Piutang dan Hutang (APB 21), Leasing (SFAS 12), Resturkturisasi Hutang (SFAS 15), Pelaporan Hutang Pensiun (SFAS 88) dan pelunasan Hutang (APB 26).
Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah isu yang berkaitan dengan penilaian aktiva. Dalam akuntansi Anglo-Saxon, penilaian suatu aktiva terutama persediaan dan surat berharga umumnya dilandasi konsep konservatisme. Konsep ini mengakui rugi atau penurunan aktiva meskipun rugi atau penurunan tersebut belum terealisasi. Sebaliknya, konsep tersebut menunda pengakuan pendapatan atau kenaikan nilai aktiva sampai pendapatan atau kenaikan nilai aktiva tersebut betul-betul sudah terealisasi. Konsekuensi dari konsep ini adalah digunakannya metode penilaian persediaan dan surat berharga jangka pendek berdasarkan pada nilai terendah antara cost dan harga pasar (lower cost or market). Sementara itu, untuk tujuan perhitungan zakat-yang merupakan salah satu tujuan pelaporan berbasis ajaran Islam-ajaran Islam menilai kedua jenis aktiva tersebut berdasarkan pada nilai bersih yang dapat direalisasi atau net realizable value (Gambling dan Karim 1991). Dengan demikian jelas bahwa Islam tidak mengakui adanya konsep nilai terendah di antara cost dan harga pasar, seperti yang digunakan dalam akuntansi kapitalis.
Masalah yang ketiga adalah aplikasi dari konsep kesinambungan (going concern). Pemakaian konsep ini memungkinakn digunakannya penilaian aktiva berdasarkan cost historis untuk menunjukkan obyektifitas pengukurannya. Atas dasar cost historis ini, nilai aktiva pada tanggal tertentu (tanggal neraca) akan sama dengan nilai aktiva pada tanggal pertama kali aktiva tersebut diperoleh. Alasan utama diterapkannya konsep going concern tersebut adalah: (1) untuk memungkinkan dilakukannya klasifikasi aktiva dan hutang menjadi kelompok lancar dan tidak lancar, (2) memungkinkan dilakukannya penandingan (matching) antara pendapatan dengan biaya.
Dari sudut pandang ajaran Islam, kedua alasan tersebut dapat dipertanyakan dan tidak relevan (Gambling dan Karim 1991). Dalam ajaran Islam, klasifikasi aktiva kedalam lancar dan tidak lancar pada dasarnya dimaksudkan untuk menentukan besarnya kekayaan yang akan digunakan dalam penentuan besarnya zakat. Aktiva lancar tersebut diharapkan dapat dikonsumsi, atau dijual untuk menghasilkan kas dalam periode waktu dimana zakat akan dikenakan atas kekayaan tersebut. Sementara aktiva tidak lancar, akan tetap ditahan atau disimpan pada periode di luar periode zakat tersebut (Abdel-Magid 1981). Atas dasar hal ini, laporan keuangan harus mampu menyajikan informasi mengenai aktiva, yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar pengenaan zakat. Dengan demikian penilaian zakat akan menentukan metode penilaian aktiva. Metode yang tepat untuk menilai aktiva yang relevan dengan tujuan perhitungan zakat adalah net realizable value atau metode penilaian yang disarankan oleh Chambers (1966) yaitu continuously contemporary accounting (CoCoA).
Atas dasar metode CoCoA aktiva harus dinilai menurut nilai pasar pada tanggal neraca. Jadi setiap aktiva harus dapat dinilai secara individu, terpisah dari kekayaan perusahaan secara keseluruhan. Akibatnya, dalam konteks Islam tidak ada pengakuan aktiva seperti goodwill, karena goodwill tidak dapat dilihat bentuk wujudnya dan tidak dapat dinilai secara individu terpisah dari nilai perusahaan secara keseluruhan.
Hal lain yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah penggunaan konsep economic substance over legal form. Model akuntansi Anglo-Saxon jelas memisahkan substansi ekonomi suatu transaksi dengan status hukum dari transaksi tersebut. Atas dasar konsep ini, jika suatu transaksi ditinjau dari substansi ekonominya memiliki kriteria sebagai elemen laporan keuangan (karena memenuhi definisi, dapat diukur, dan diakui dalam laporan keuangan), maka transaksi tersebut dapat diakui dalam laporan keuangan meskipun secara yuridis tidak boleh diakui. Contoh klasik adalah mesin yang disewa oleh perusahaan melalui kontrak capital lease. Apabila secara substansi ekonomi memenuhi kriteria sebagai aktiva (seperti diatur dalam standar), maka mesin yang disewa tersebut dapat diakui sebagai harta kekayaan si penyewa dan dilaporkan dalam neraca sebagai harta milik penyewa. Namun demikian, dari aspek yuridis mesin tersebut tetap menjadi harta pemilik bukan penyewa. Konsep ini, jelas bertentangan dengan konsep pemilikan dalam ajaran Islam (Karim 1995).
Atas dasar perbedaan sudut pandang di atas, maka cukup rasional untuk mengatakan bahwa akuntansi seharusnya dikembangkan sesuai dengan kondisi lingkungan dimana akuntansi tersebut akan dipraktikkan. Praktik akuntansi kapitalis, jelas tidak semuanya dapat dipraktikkan di lingkungan yang bernafaskan Islam karena konsepnya jelas berbeda dan banyak yang bertentangan.

sumber : http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:skUCWwaA0wIJ:eprints.undip.ac.id/22807/1/SKRIPSI_MEGA.PDF+skripsi+ADOPSI+INTERNATIONAL+FINANCIAL+REPORT+STANDARD:&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShph2PZAKlXiRTLz_7d1xGjdZ_GtWPaieXRvnvWPv17oK5GZAtHDuUC-DuGQxhzzylHrJ24_d6kYzE6d-QGfA4JW_Dwhw6uoKUcp1O28KomvLjW4emCn7NupVz9iOR88-9zTFHY&sig=AHIEtbT3i1pBiKk_4E03uAH5pvrGWf88DA

http://staff.undip.ac.id/akuntansi/anis/2009/05/26/harmonisasi-standar-akuntansi-internasional-analisis-kritis-dari-perspektif-islam/

Dewi Novi H
4eb04

perbedaan harmonisasi dan standard akuntansi internasional

PERBEDAAN HARMONISASI DAN STANDAR AKUNTANSI INTERNASIONAL

Merupakan pemberlakuan atau penerapan suatu set standar yang sempit dan baku. Standarisasi adalah suatu set standar yang harus diterapkan di semua situasi. Standarisasi tidak menampung perbedaan nasional, oleh karena itu lebih sulit untuk diterapkan secara internasional. Namun, ternyata standarisasi terlalu serius dan ambisius untuk dicapai dan juga direalisasi. Akhirnya dalam Preface and Constitution tahun 1982 dinyatakan bahwa tujuan harmonisasi adalah lebih perlu untuk di capai. Harmonisasi adalah proses peningkatan komparalititas praktik akuntansi dengan memberikan batas seberapa banyak variasinya. Hormonisasi standar meminumkan konflik dan meningkatkan komparabilitas informasi keuangan dari Negara-negar berbeda. (Choi, et.al, 1999:248)

Harmonisasi lebih fleksibel dan terbuka dan tidak menggunakan pendekatan satu ukuran untuk semua. Konsep harmonisasi berarti bahwa standar yang berbeda boleh berlaku di masing-masing Negara anggota selama standar tersebut “selaras” satu sama lain berarti bahwa standar tersebut secara logis seharusnya tidak boleh bertentangan.

Yang perlu diperhatikan, harmonisasi ”membolehkan” dengan pengungkapan yang memadai, sedangkan standarisasi “mengharuskan” semua perusahaan, jika perusahaan tersebut ingin menaati prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum (GAAP). Dengan demikian, harmonisasi menghasilkan hasil pengukuran akuntansi dan keuangan yang berbeda dibandingkan dengan standarisasi. Lembaga-lembaga yang aktif dalam usaha harmonisasi standar akuntansi ini antara lain adalah IASC (International Accounting Standard Committee), Perserikatan Bangsa-Bangsa dan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Beberapa pihak yang diuntungkan dengan adanya harmonisasi ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional, kantor akuntan internasional, organisasi perdagangan, serta IOSCO (International Organization of

Securities Commissions).

IASC didirikan pada tahun 1973 dan beranggotakan anggota organisasi IASC didirikan pada tahun 1973 dan beranggotakan anggota organisasi profesi akuntan dari sepuluh negara. Di tahun 1999, keanggotaan IASC terdiri dari 134 organisasi profesi akuntan dari 104 negara, termasuk Indonesia. Tujuan IASC adalah (1) merumuskan dan menerbitkan standar akuntansi sehubungan dengan pelaporan keuangan dan mempromosikannya untuk bisa diterima secara luas di seluruh dunia, serta (2) bekerja untuk pengembangan dan harmonisasi standar dan prosedur akuntansi sehubungan dengan pelaporan keuangan. Beberapa Negara seperti Singapura, Zimbabwe dan Kuwait malah mengadopsi International Accounting Standard sebagai standar akuntansi negara mereka

Tujuan Harmonisasi

1. Startegi induk perusahaan untuk lebih banyak melakukan expansi dengan mendirikan anak perusahaan di berbagai Negara lain.

2. Jika tercipta harmonisasi, terciptanya pemahaman atas penyajian informasi induk perusahaan maupun anak perusahaan atau sebaliknya.

3. Tidak memerlukan proses rumit

4. Tidak terjadi bias akan informasi

Harmonisasi akuntansi meliputi:

1. Harmonisasi standar akuntansi yang berkaitan dengan pelaporan dan penilaian laporan

2. Harmonisasi pengungkapan yang dibuat perusahaan public di bursa terkait dengan penawaran sekuritas dan pencatatan di bursa efek

3. Harmonisasi standar audit

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sistem Akuntansi

Seperti halnya dunia bisnis pada umumnya, praktik-praktik akuntansi beserta pengungkapan informasi finansial di perusahaan di berbagai negara dipengaruhioleh berbagai faktor. Radebaugh dan Gray (1997:47) menyebutkan sedikitnya ada empat belas faktor yang mempengaruhi sistem akuntansi perusahaan. Faktor-faktor tersebut adalah sifat kepemilikan perusahaan, aktivitas usaha, sumber pendanaan dan pasar modal, sistem perpajakan, eksistensi dan pentingnya profesi akuntan, pendidikan dan riset akuntansi, sistem politik, iklim sosial, tingkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tingkat inflasi, sistem perundang-undangan, dan aturan-aturan akuntansi. Lebih rinci, Radebaugh dan Gray menjelaskan hubungan antara faktor-faktor tersebut di atas dengan sistem akuntansi perusahaan sebagai berikut.

a. Sifat kepemilikan perusahaan

Kebutuhan akan pengungkapan informasi dan pertanggungjawaban kepada publik lebih besar ditemui pada perusahaan-perusahaan yang dimiliki public dibandingkan dengan pada perusahaan keluarga.

b. Aktivitas usaha

Sistem akuntansi dipengaruhi oleh jenis aktivitas usaha, misalnya agribisnis yang berbeda dengan manufaktur, atau perusahaan kecil yang berbeda dengan perusahaan multinasional.

c. Sumber pendanaan

Kebutuhan akan pengungkapan informasi dan pertanggungjawaban kepada publik lebih besar ditemui pada perusahaan-perusahaan yang mendapatkan sumber pendanaan dari para pemegang saham eksternal dibandingkan dengan pada perusahaan dengan sumber pendanaan dari perbankan atau dari dana keluarga.

d. Sistem perpajakan

Negara-negara seperti Perancis dan Jerman menggunakan laporan keuangan perusahaan sebagai dasar penentuan utang pajak penghasilan, sedangkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris menggunakan laporan keuangan yang telah disesuaikan dengan aturan perpajakan sebagai dasar penentuan utang pajak dan disampaikan terpisah dengan laporan keuangan untuk pemegang saham.

e. Eksistensi dan pentingnya profesi akuntan

Profesi akuntan yang lebih maju di negara-negara maju juga membuat system akuntansi yang dipakai lebih maju dibandingkan dengan di negara-negara yang masih menerapkan sistem akuntansi yang sentralistik dan seragam.

f. Pendidikan dan riset akuntansi

Pendidikan dan riset akuntansi yang baik kurang dijalankan di negara-negara yang sedang berkembang. Pengembangan profesi juga dipengaruhi oleh pendidikan dan riset akuntansi yang bermutu.

g. Sistem politik

Sistem politik yang dijalankan oleh suatu negara sangat berpengaruh pada sistem akuntansi yang dibuat untuk menggambarkan filosofi dan tujuan politik di negara tersebut, seperti halnya pilihan atas perencanaan terpusat (central planning) atau swastanisasi (private enterprisesh. Iklim social Iklim sosial diartikan sebagai sikap atas penghargaan terhadap hak-hak pekerja dan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Informasi yang berkaitan dengan

hal-hal tersebut pada umumnya dipengaruhi atas sistem sosial tersebut.

i. Tingkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan

Perubahan struktur perekonomian dari agraris ke manufaktur akan menampilkan sisi lain dari sistem akuntansi, antara lain dengan mulai diperhitungkannya depresiasi mesin. Industri jasa juga memunculkan pertimbangan atas pencatatan aktiva tak berwujud seperti merek, goodwill dan sumber daya manusia.

j. Tingkat inflasi

Timbulnya hyperinflation di beberapa negara di kawasan Amerika Selatan membuat adanya pemikiran untuk menggunakan pendekatan lain sebagai alternatif dari pendekatan historical cost.

k. Sistem perundang-undangan

Di negara-negara seperti Perancis dan Jerman yang menggunakan civil codes, aturan-aturan akuntansi yang dipakai cenderung rinci dan komprehensif, berbeda dengan Amerika Serikat dan Inggris yang menggunakan common law.

Standar dan aturan akuntansi yang ditetapkan di negara tertentu tentunya tidak sepenuhnya sama dengan negara lain. Peran profesi akuntan dalam menentukan standar dan aturan akuntansi lebih banyak ditemukan di negara-negara yang telah memasukkan aturan-aturan profesional dalam aturan-aturan perusahaan, seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Sementara itu Christopher Nobes dan Robert Parker (1995:11)menjelaskan adanya tujuh faktor yang menyebabkan perbedaan penting yang berskala internasional dalam perkembangan sistem dan praktik akuntansi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah (1) sistem hukum, (2) pemilik dana, (3) pengaruh system perpajakan, dan (4) kemantapan profesi akuntan. (5) inflasi, (6) teori akuntansi dan (7) accidents of history .

REFERENSI:

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 1, No.2, Nopember 1999: 144 – 161

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5307372378.pdf

perbedaan akuntansi inflasi di AS inggris dan Brazil

Perbedaan Akuntansi Inflasi di AS, Inggris, Brazil
Di AS, keuntungan dan kerugian dari item-item moneter ditentukan dengan me restate, ke dalam dolar konstan, saldo awal dan akhir dari, atau transaksi dalam, semua aset-aset dan kewajiban moneter (termasuk hutang jangka panjang). Hasilnya dimaksudkan untuk menyediakan basis yang berguna untuk menilai kinerja perusahaan dalam mempertahankan daya beli umum dari para investor (FAS No 89, paragraf 65-66). Keuntungan atau kerugian tersebut tidak dimasukkan dalam laba tetapi diungkapkan dalam item terpisah yang berdiri sendiri. Perlakuan ini menyiratkan bahwa FASB memandang keuntungan dan kerugian dalam iem-item moneter berbeda sifatnya dengan laba-laba lain.
Di Inggris, keuntungan dan kerugian atas item-item moneter dipisahkan menjadi modal kerja moneter dan geraing adjustment. Kedua jumlah tersebut berkaitan dengan perubahan tingkat harga berikut diberikan (SSAP NO. 16 paragraf 11-13)/ ketika penjualan dilakukan secara kredit, perusahaan sebebnarnya mengikat modal kerja (dalam arti, perusahaan membiayai perubahan-perubahan keuangan dalam replacement cost dari persediaannya) sampai piutang yang terkait ditagih. Sebaliknya, ketika persediaan dan perlengkapan lain dibeli secara kredit, perubahan-perubahan harga spesifik yang berkaitan dengan item-item ini pada dasarnya dibiayai oleh pemasok selama periode kredit. Sehingga modal kerja dari pembeli bebas untuk digunakan bagi keperluan lain. Karena fenomena-fenomena ini sama dan dipandang sebagai perluasan dari penyesuian penjualan biaya berjalan untuk menghasilkan laba operasi yang telah disesuaikan.
Di Brazil, tidak menyesuaikan aktiva lancar dan kewajiban lancar secara eksplisit karena jumlah-jumlah ini diekspresikan dalam nilai berjalan. Penyesuaian yang timbul dari menghitung nilai bersih aset-aset permanen dan modal yang telah disesuaikan dengan tingkat harga mewakili keuntungan atau kerugian daya beli umum dalam membiayai modal kerja dengan hutang atau modal. Penyesuaian aset permanen yang melebihi penyesuaian modal mencerminkan porsi aset permanen yang dibiayai dengan hutang, sehingga menghasilkan keuntungan daya beli. Sebaliknya, penyesuaian modal yang lebih besar daripada penyesuaian aset permanen menunjukkan porsi modal kerja yang dibiayai oleh modal. Bagi porsi modal ini diakui adanya kerugian daya beli selama periode inflasi.

Referensi : “Akuntansi Internasional” Simon & Schuter(Asia) Pte, Ltd. Salemba

laporan keuangan dalam perekonomian hiperinflasi

PELAPORAN KEUANGAN DALAM PEREKONOMIAN HIPERINFLASI
PELAPORAN KEUANGAN DALAM EKONOMI HIPERINFLASI Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 63: Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi terdiri dari paragraf 1 – 40. Seluruh paragraf tersebut memiliki kekuatan mengatur yang sama. Paragraf yang dicetak dengan huruf tebal dan miring mengatur prinsip-prinsip utama. PSAK 63 harus dibaca dalam konteks tujuan pengaturan dan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan. PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan memberikan dasar memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi ketika tidak ada panduan yang eksplisit. Pernyataan ini tidak wajib diterapkan untuk unsure-unsur yang tidak material

01. Pernyataan ini diterapkan untuk laporan keuangan, termasuk laporan keuangan konsolidasian, dari setiap entitas yang mata uang fungsionalnya adalah mata uang dari suatu ekonomi yang mengalami hiperinflasi (selanjutnya disebut ekonomi hiperinflasi).

02. Dalam ekonomi hiperinflasi, pelaporan hasil operasi dan posisi keuangan dalam mata uang lokal tanpa penyajian kembali tidak bermanfaat. Uang menjadi kehilangan daya beli sedemikian rupa sehingga perbandingan jumlah-jumlah dari transaksi dan kejadian lain dari waktu ke waktu, bahkan dalam periode akuntansi yang sama, menjadi menyesatkan.

03. Pernyataan ini tidak menetapkan pada tingkat inflasi tertentu dianggap terjadi hiperinflasi. Pertimbangan diperlukan dalam penentuan kapan penyajian kembali laporan keuangan perlu dilakukan sesuai dengan pernyataan ini. Karakteristik dari lingkungan ekonomi suatu negara yang merupakan indikasi bahwa negara tersebut mengalami hiperinflasi antara lain: (a) penduduknya lebih memilih untuk menyimpan kekayaan mereka dalam bentuk aset nonmoneter atau dalam mata uang asing yang relatif stabil. Jumlah mata uang lokal yang dimiliki segera diinvestasikan untuk mempertahankan daya beli; (b) penduduknya mempertimbangkan jumlah moneter bukan dalam mata uang lokal tetapi dalam mata uang asing yang relatif stabil. Harga-harga mungkin dikuotasikan dalam mata uang asing tersebut; (c) harga yang berlaku dalam penjualan dan pembelian secara kredit ditentukan dengan memasukkan faktor ekspektasi hilangnya daya beli selama periode kredit, bahkan jika periode kreditnya singkat; (d) suku bunga, upah dan harga dikaitkan dengan indeks harga; dan (e) tingkat inflasi kumulatif selama tiga tahun mendekati atau melebihi 100%.

04. Semua entitas yang menyusun laporan keuangan dalam mata uang ekonomi hiperinflasi yang sama dianjurkan menerapkan Pernyataan ini dari tanggal yang sama. Namun, Pernyataan ini diterapkan atas laporan keuangan setiap entitas sejak awal periode pelaporan ketika entitas mengidentifikasi adanya hiperinflasi di negara yang mata uangnya digunakan oleh entitas tersebut untuk menyusun laporan keuangan.

05. Harga berubah dari waktu ke waktu sebagai akibat pengaruh politik, ekonomi, dan sosial secara umum atau spesifik. Pengaruh spesifik seperti perubahan permintaan dan penawaran dan perubahan teknologi dapat menyebabkan kenaikan atau penurunan harga individual secara signifikan dan independen antara satu dengan lainnya. Selain itu, pengaruh umum dapat menyebabkan perubahan tingkat harga umum dan daya beli uang.

06. Entitas yang menyusun laporan keuangan dengan dasar akuntansi biaya historis melakukannya tanpa mempertimbangkan perubahan tingkat harga umum ataupun kenaikan harga tertentu dari aset atau liabilitas yang diakui. Pengecualian atas prinsip ini diterapkan bagi aset dan liabilitas yang disyaratkan, atau dipilih, untuk diukur pada nilai wajar. Misalnya, aset tetap dapat direvaluasi pada nilai wajar. Namun beberapa entitas menyajikan laporan keuangan berdasarkan pendekatan biaya kini yang mencerminkan dampak perubahan harga spesifik dari aset yang dimiliki.

07. Dalam ekonomi hiperinflasi, laporan keuangan, baik yang disusun berdasarkan pendekatan biaya historis maupun pendekatan biaya kini, hanya akan berguna jika dinyatakan dalam unit pengukuran yang berlaku pada akhir periode pelaporan. Oleh karena itu, Pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang ekonomi hiperinflasi. Entitas tidak diizinkan menyajikan secara terpisah laporan keuangan yang tidak disajikan kembali walaupun melampirkan informasi yang disyaratkan oleh Pernyataan ini.

08. Laporan keuangan entitas yang mata uang fungsionalnya merupakan mata uang ekonomi hiperinflasi, berdasarkan pendekatan biaya historis atau pendekatan biaya kini, disajikan dalam unit pengukuran yang berlaku pada akhir periode pelaporan. Angka-angka terkait untuk periode sebelumnya yang disyaratkan oleh PSAK 1 (revisi 2009): Penyajian Laporan Keuangan dan setiap informasi dalam periode sebelumnya juga disajikan dalam unit pengukuran kini pada akhir periode pelaporan. Untuk tujuan penyajian jumlah komparatif dalam mata uang penyajian yang berbeda, diterapkan PSAK 10 (revisi 2010): Pengaruh Perubahan



Sumber :


Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali dalam PSAKAK 63: Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi


IAI (Ikatan Akuntansi Indonesia)

laporan keuangan berpotensi menyesatkan

Laporan Keuangan Berpotensi Menyesatkan
Berikut adalah contoh kasus dari laporan keuangan berpotensi menyesatkan. Seharusnya laporan keuangan tidak boleh menyesatkan, tapi harus akurat, dapat diandalkan, dapat dibandingkan, dan relevan
Pengelolaan Keuangan Pemkab Barru Terburuk
MAKASSAR – Pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Barru dinilai paling buruk di wilayah Sulsel.Salah satu indikatornya, alokasi dana perbantuan APBN turun drastis dari tahun -tahun sebelumnya.

Kesimpulan ini disampaikan pengamat keuangan publik dari Universitas Patria Artha Makassar Bastian Lubis kemarin.Dia mengatakan, dari data yang mereka miliki diketahui dana perbantuan APBN dari kementerian teknis turun drastis pada 2010 ini untuk Pemkab Barru.Padahal, pada 2008, alokasi dana perbantuan Pemkab Barru sebesar Rp13,178 miliar.

Memasuki 2009, dana bantuan untuk Pemkab Barru naik Rp21,117 miliar.Namun,pada 2010 justru terjun bebas dan hanya Rp2,044 miliar.“Lihat saja angkaangka itu.Sangat jauh turunnya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya kemarin. Seharusnya alokasi dana bantuan APBN untuk Pemkab Barru naik untuk 2010 ini.

Sebab, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBNP) 2010 ini ada kenaikan. Dengan turunnya dana perbantuan tersebut bisa muncul dugaan buruknya laporan keuangan daerah tersebut.Kedua adalah tidak menutup kemungkinan akan memunculkan dugaan korupsi pada kemudian hari.

“Hal itu bisa saja terjadi karena tidak rapinya laporan keuangan bisa berpotensi korupsi,” tandasnya. Sementara Kepala Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sulsel Krisdiyanto mengatakan, naik-turunnya dana perbantuan untuk tiap daerah atas banyak pertimbangan.)

Sumber : http://www.makassarterkini.com/index.php/metro/index.php?option=com_content.